Rabu, November 18, 2009

ANAK - ANAK WANGI MATAHARI....

Nanggalo. Padang. “Nama mu siapa?” Sapa ku pada seorang gadis cilik yang sedang bergelendot dengan Ibunya. Sesaat aku mengelus pipinya yang lembut. “Nur Hikmah Kak…” pelan jawabnya.tersipu malu. “Nama kakak…Wulan…kamu Kelas berapa?” Tanya ku lagi sambil memegang tangannya. “kelas tigo.” “Mau main sama Kakak?” “Mau…” Senyum gadis kecil itu mengembang. Damai rasanya hati ini menyaksikan itu. “Hayo…”Ajak ku menggandeng tangannya. lalu menghampiri ku sambil menatap ke arah Ibunya memohon Izin. Ibunya mengangguk. “Aku harus memanggil kamu Nur atau Hikmah Nih?” Tanya ku padanya yang sudah duduk di sebelahku. “Panggil Ikma saja Kak…” lalu ada seorang gadis cilik yang lebih kecil usia dari Ikma menghampiri ku. “Kalau ini siapa namanya?” Tanya ku langsung. “Rara…” Sahutnya lantang. “Rara…namanya yang bagus…” “Shafira namanya Kak…Itu Riri adiknya….” Celetuk Ikma. “Ow…Shafira namu mu cantik… Rara dan Riri kakak beradik ya?” Rara yang ditanya hanya manggut-manggut. “Yang itu Uun…Kak….” Ikma memperkenalkan lagi satu anak kecil tapi kali ini anak laki-laki yang usianya sekitar tiga tahun. “Hmmm…Uun?” Aku melihat Uun teringat film Upin dan Ipin. Uun anak yang lincah. “Iya Uun adik Rara juga kak.” Lanjut Ikma. “Ow..jadi adik mu dua Ra? Riri lalu Uun…” kataku sambil mengelitik Uun yang duduk di pangkuan ku. “Yang itu siapa namanya?” “Itu Fajar…yang itu Putri dan itu Adit….”Jelas Ikma. Mereka berkumpul mengelilingi ku. “Kak…kak Wulan dari Jakarta?” Tanya Riri yang membawa piring kaleng berisi nasi dan ikan. “Iya…kakak dari Jakarta datang ke Padang mau bermain sama kalian.” “Jakarta jauh kak…?” mulut Riri penuh dengan nasi tapi suaranya masih terdengar lantang. “Iya jauh…” lalu salah satu dari mereka ada yang memotong pembicaraan Riri, tapi aku tidak mengerti mereka bicara apa….mereka berbicara dengan bahasa Minang dan aku tidak mengerti. Jadilah aku sebentar-sebentar bertanya pada Ikma untuk minta di terjemahkan, agar bisa berkomunikasi dengan mereka. Syukurnya Ikma mengerti kesulitanku dan dia selalu berbicara dengan bahasa Indonesia denganku. “Di Jakarta ada gempa tidak Kak?” Tanya Riri di sela makan siangnya. “Di Jakarta juga pernah gempa Ri… Tapi tidak sebesar gempa di Padang.” “Ada rumah yang rubuh Kak?” Kali Rara yang bertanya. “Tidak…karna gempanya kecil, rumah mu yang mana Ra?” “Itu Kak…” Rara menunjukan satu bangunan rumah yang tidak jauh dari tempat kami duduk. “Rumahnya rubuh kena gempa kak…” Teriak Putri. Aku terpaku diam. Memandangi rumah yang rubuh dan sudah rata dengan tanah lalu aku menatap Rara yang tertunduk. Ingin rasanya memeluknya tapi aku hanya bisa mengusap kepalanya. “Rara kelas berapa?” Aku berusaha membuyarkan lamunan Rara. “Kelas satu…” “Kalo Uun…Uun sudah sekolah belum?” “BELUUUUMMM…”Teriak Uun tepat di kuping ku. Mereka semua tertawa melihat aku yang terkejut. Senangnya menyaksikan tawa riang mereka. “O iya nama sekolah kalian?” “SDN Gurun Laweh 17 kak…” “Sekolahnya juga rubuh Kak….” Aku diam lagi. Sekolah mereka pun tak luput dari gempa. “Kita ke sana yuk kak….” Ajak Rara. Belum sempat aku menyahut, tangan ku sudah di tarik-tarik oleh Uun. ‘Hayo…hayo…kita ke sekolah.” Aku digiring oleh anak-anak wangi matahari. Aku melihat bangunan sekolah yang rubuh, yang tersisa puing-puing berserakan dan di sana ada satu tenda darurat yang didirikan untuk menggantikan sekolah mereka, tempat belajar mereka. Apa rasanya belajar di tenda darurat, sudah pasti konsentrasi belajar mereka terganggu, kapasitas tenda darurat terbatas, tidak bisa menampung semua murid dari kelas satu sampai kelas enam. Mereka harus berbagi waktu dan berbagi tempat...dalam satu tenda itu ada tiga kelas. Kelas satu sampai kelas tiga masuk pagi, kelas empat sampai kelas enam masuk siang. Belum lagi suara helikopter yang lalu lalang mengantar logistik… anak-anak selalu berlari keluar tenda kalau mendengar suara helicopter… reaksi mereka beda-beda, sebagian ada yang senang melihat helicopter, sebagian lagi ada yang lari ketakutan karna mereka masih trauma. Setelah menemui petugas sekolah kami berpamitan. Hari ini aku, Mas Aliyth dan Mas Kika tidak bisa bermain dan bergembira dengan mereka. Kami datang setelah anak-anak selesai sekolah dan mereka semua sudah pulang yang tersisa hanya Ikma, Rara, Riri, Putri, Uun dan Fajar yang memang tempat tinggal mereka dekat dengan sekolah. Kami berjanji besok akan datang lagi bermain dan bergembira bersama mereka dengan teman-teman yang lain. kami sempat berphoto dengan anak-anak wangi matahari, mereka senang, mereka sama seperti kami…banci kamera dan narsis. Aku diantar ke mobil oleh anak-anak…. “Kak Wulan jangan pulang…” Pinta Ikma sambil merengek manja. “Iya…besok kakak datang lagi kita main sama-sama ya…sekarang kakak pamit dulu ya…” Kata ku pelan, tidak tega sebenarnya. Lalu Ikma mencium tangan ku. di ikuti Rara, Riri, Uun, dan yang lain. “Kak… besok datang lagi ya…” kali ini Rara. “Iya…kakak janji…” Ikma tidak melepaskan tangannya dari tangan ku. Tuhan…baru sekitar satu jam aku bertemu mereka tapi kenapa sulit sekali berpamitan dengan mereka. “Oke… Sekarang peluk Kakak.” Pinta ku tiba-tiba. Mereka spontan memelukku bergantian. “Aku boleh cium kak..” Pinta Ikma mengejutkanku. “Boleh..” Aku menyodorkan pipi ku kearah Ikma. Dia mencium ku lembut…Uun menatapku. “Uun mau cium juga….” Tanpa basa-basi Uun kecil mencium pipiku terasa ada cairan dari hidungnya menempel di pipi ku, lalu yang lain pun ikut mencium ku. dan tercium oleh ku aroma tubuh mereka yang khas… Hmmmm…aku tersenyum dalam hati. Ini wangi matahari… ini lah wangi matahari….meski orang bilang ini bau matahari tapi aku lebih suka menyebutnya wangi matahari. Aroma khas tubuh anak-anak yang bermain di bawah terik matahari. Waktu kecil aroma tubuh ku pun seperti itu. *bersambung.* ~anak-anak wangi matahari aku merindu kan kalian… sangat merindukan kalian….~ Untuk Ikma, Rara, Riri, Uun, Putri, Fajar… @rumah Keong *111109* -Twul-

Tidak ada komentar: