Rabu, Februari 26, 2014

Sampah digantungan ranjang.


Cerpen ini terinspirasi dari lagu "cobalah mengerti" Peterpan feat Momo #cerpenpeterpan


 Saat ini matahari sedang tertidur, langit gelap sekali. Jalanan ini terlalu sempit untuk dua motor dan seorang pejalan kaki, mungkin karena itu juga langkahku menuju pulang agak terhambat. Sepatuku sudah kenyang dengan air hasil semprotan ban kendaraan roda dua yang melewati genangan air dilubang jalan. Angkasa tadi habis menangis, atau hanya aku dadanya terisak. Selama kaki-kakiku melangkah, dikepalaku hanya terbayang dimana lagi kami harus tinggal. Kehilangan pekerjaan memang bukan barang baru untukku, tapi kali ini bukan lagi tentang aku. Ini tentang sosok yang aku cinta, tidak hanya dengan kepala, tapi juga jiwa. Apa yang harus aku katakan jika kami lagi-lagi harus pergi dari tempat yang dua tahun ini sudah kami sebut "rumah"? Aku mengerti, kau sudah lelah kalau harus terus berpindah. Aku juga tau sudah terlalu banyak mimpimu yang aku ganggu. Aku hanya belum menemukan cara, bagaimana agar kau bahagia.



 "Aku tak kan pernah berhenti. Akan terus memahami. Masih Harus berpikir. Bila harus memaksa. Atau berdarah untukmu. Apapun itu asalkan kau coba menerimaku"



 Aku tidak pernah bosan memandanginya, sejak suara tangisannya membahana disela sesakku sebelumnya. Dia telah mengajarkan aku mengabaikan sakit, sejak tiba di dunia. Saat dia menangis dikedua lenganku, aku tau dia mendekap kalbuku lebih erat dari segala perekat.
Hujan turun lagi, semakin deras. Datang begitu tiba-tiba. Seperti engkau yang mungkin tidak pernah kurencanakan kedatangannya.



 Aku ingat mata ayahmu yang membelalak saat kuberikan sebatang alat tes berwarna putih dengan garis dua. Dia langsung memegangi kepalanya, menendang pintu kamar kos-nya. Aku yang kala itu belum genap dua puluh tahun hanya bisa menangis. Entah apa kalimat yang akan aku lontarkan pada nenek kakekmu. Aku ingat saat kami, orangtuamu akhirnya memutuskan pergi dari rumah masing-masing untuk mengagungkan cinta hanya berdua, sambil membawamu didalam perutku yang semakin membesar. Ayahmu yang awalnya sangat menyayangi aku, mulai berubah setiap kutanyakan soal tagihan kamar kost. Aku masih ingat jelas rasa nasi sisa kamar tetangga.



 Hari itu sepertinya kau sedang meraung-raung didalam perut, seperti menendang-nendang lambung. Aku tidak memberimu makan semalaman, dan ayahmu tidak pulang. Bungkusan coklat didepan kamar sebelah kiri kami rasanya sulit tak kuberi hirau. Hari itu kuberikan kau makanan yang tak layak. Aku tidak mengkonsumsi susu ibu mengandung, bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena lebam disekujur tubuhku, tiap aku menyebut kata rupiah ditelinga ayahmu.



 "Dan kamu hanya perlu terima. Dan tak harus memahami. Dan tak harus berpikir. Hanya perlu mengerti. Aku bernafas untukmu. Jadi tetaplah disini. Dan coba menerimaku"



 Sekarang tubuhku basah. Aku sendirian, memegangi kantung berisi bakwan dan beberapa jenis gorengan. Aku tau kau lebih suka pisang molen, tapi tadi tampaknya aku kehabisan. Maaf nak, aku mungkin tidak pantas disebut ibu. Seluruh tubuhku penuh dengan tangan laki-laki yang bahkan tak kutau namanya. Yang aku tau, kamu selalu menangis saat teman-temanmu membicarakan aku, atau pekerjaanku. Aku mungkin telah salah menggunakan senyum yang kau ajarkan. Aku mengaplikasikannya kepada seluruh tamu yang datang, berharap mereka memberikan kepingan-kepingan uang, agar kau bisa merasakan susu yang tidak pernah mampu keberikan dulu.



 Hujan sudah mulai reda, aku kembali menuju pulang, menuju engkau yang sebelumnya aku lihat diingatan. Kau memiliki alis yang sama dengan ayahmu, tebal. Alisku tipis, jelas kau jauh lebih cantik. Ayahmu pasti akan sangat terkejut jika melihatmu, walau aku pernah berharap kalian lebih baik tidak pernah bertemu.



 Pintu kayu ini rasanya sudah menjadi sisa rayap. Perlu teknik khusus untuk membukanya, tidak semua orang bisa, hanya aku, dan dia. Meja kayu bundar dengan taplak kotak2 yang semakin menguning itu terisi piring kosong. Ada sisa kuah kaldu disana, aku tersenyum. Setidaknya aku tau, perutmu sudah terisi. Dan dengan alphanya cahaya lampu, aku juga tau kau telah terlelap. Ini pukul empat pagi. Setelah jacket hitam ini kuletakkan di kursi plastik putih, aku mengambil gelas, memberikan hujan pada kerongkongan, hingga aku melewati ruang dengan penutup kain kuning muda. Kusibakkan mereka hingga aku lihat jelas kamu. Kamu yang tangisannya bisa menusuk lambungku, kamu yang tawanya mampu membuatku percaya kehadiran surga didunia, kamu yang kucintai sampai nadi. Kamu... Kamu tergantung dengan tali mengalungi lehermu. Kakimu tidak lagi menginjak tanah. Aku yang kehilangan udara, berteriak sekuat tenaga, lingkunganku gelap seketika.



 "Cobalah mengerti. Semua ini mencari arti. Selamanya takkan berhenti. Inginkan rasakan. Rindu ini menjadi satu. Biar waktu yang memisahkan."

SATU SAMA...

Aku coba sekali lagi tersenyum pada dia disana tapi hasilnya sama :BUANG MUKA! Ok, tidak masalah.

Perlahan aku menyapu pandang ke seluruh sudut ruangan. Suara tawa dan basa-basi para tamu undangan menyesakan telinga. Sepiring kambing guling dipalang lebih dari sepuluh tubuh untuk sampai dimulut, karenanya sekarang segelas cairan tanpa warna terpeluk erat oleh kelima jari kiriku, sedang tangan kanan sibuk menari diatas abjad-abjad ponsel. 
 

"Iya, aku juga masih di tempat kawinan temen" jawabku untuk sebuah "PING" histeris yang dari tadi menyerang blackberry-ku. "Aku bete nih disini, ada perempuan menjijikan. Males banget deh!!!" jawabnya tak sampai satu menit dari pesanku sebelumnya.


"Yaudah, kamu santai aja. Udah makan?" tanyaku perhatian 

 
"Semua makanan udah aku makan, kalo bisa si Chevana pecun itu juga aku makan!" balasnya. 

 
"Eh, jangan gitu dong sayang. Sabar, kamu pasti cantik kalo ga marah-marah. Talk to you later ya, mau foto alumni SMA nih" kataku sambil berbohong. 


"Ok, tapi nanti abis kamu pulang dari kawinan, kita YM-an ya sayaaaanng. Aku kangen buanget sama pacarkuuu, cinta banget sama kamuuu!" begitu kira-kira balasnya dengan kata yang menurutku "lebayatun" Tsk. 
 

Hari ini, aku sengaja menginjakkan kaki ke tempat yang sebenarnya malas kuinjak setengah mati. Disini semua orang tertawa, dari mulai kedua mempelai yang katanya berbahagia, sampai para undangan ( lagi-lagi katanya ) merasakan hal yang sama. Jika itu semua benar, berarti akulah satu-satunya orang dalam ruangan penuh bunga ini yang ingin menangis. 
Kalau perlu aku ingin meraung-raung sambil membanting semua barang yang ada.Tapi hal itu tak mungkin ku lakukan, karena bila itu terjadi berarti Rumah Sakit Jiwa akan segera menjadi rumah masa depan. Sebenarnya kantung mataku ini sudah mau pecah, tidak mampu lagi menahan luapan air yang sebentar lagi tumpah. Pelaminan itu seharusnya singgasanaku sekarang. 

Tawa itu milikku!!!!!! seharusnya..... * Ruangan ini tidak berisik, tidak banyak suara. Disini kukira tempat yang paling aman untuk air mata sementara, sampai akhirnya kudengar suara "flush" dari salah satu pintu toilet. Segera kubersihkan sisa-sisa airmata yang tadi tumpah.

Malu, ini pesta pernikahan, bukan pemakaman. Meski bagikuku Kebahagian barunya, adalah kematianku paling tragis dalam rasa. Pintu toilet terbuka, dan ternyata wanita itu lagi. Dia belum berubah, seperti awal paragraf kuceritakan, semanis apapun senyum kutawarkan, dia pasti mengembalikannya dengan mata yang lebih besar dari ukuran asli plus ekspresi layaknya orang mengambil nafas namun ditahan dulu sebelum dihembuskan. 
 
Dengan hidung yang masih merah aku menatapnya. Dia tersenyum senang melihat sisa genangan air di mataku. Aku diam, berusaha mengatur irama nafas. Tenang...., aku harus tenang menghadapi wanita berkulit putih, berbadan tambun meski raut wajahnya (sedikit) manis. 

"Masih dinangisin aja sih? Udah laki orang woy!!" katanya sambil menyisir di hadapan kaca diatas wastafel, dengan arah pandang tetap kedepan. Aku yang disamping kirinya cuma diam menahan kesal. 

Wanita didepanku ini adalah perempuan yang membuat kekasihku mengucap kata "Maaf ya va, aku rasa hubungan kita ga mungkin dilanjutin. Aku ga bisa pacaran jarak jauh" dan tiga hari kemudian foto di jejaring sosialnya sudah berdampingan dengan wanita di hadapanku sekarang.

Ketika lulus kuliah, mereka berdua kembali ke ibukota dan entah kenapa wanita lulusan Universitas terkemuka di Bandung ini justru seperti mengibarkan bendera perang. Tidak bosan-bosannya melempariku dengan fitnah-fitnah, dan sikap tak bersahabat. 

Hingga saat mereka berdua putus, wanita ini stress tingkat tinggi hingga badannya mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya. Akhir kata, tidak satupun dari kita yang mendapatkan hati Bagas, karena wanita diatas pelaminan itulah pemenangnya... 


"Kamu tuh ada masalah apa ya ras sama aku?" tanyaku dengan nada sopan "Napeeeeee lagi lo? Muka lo tuh, masalah buat mata gue" jawabnya nyinyir "Terus kenapa dilihat?" 

Dengan segenap hati aku berusaha menjawab dengan tenang. "Anjing lo!! Rebek banget sih?? Eh, lo kalo emang masih kecintaan sama Bagas ya sanaaaaa" katanya sambil menaikkan dagu 

"Heran gue, emang salah gue kalo lo ngebosenin terus Bagas naksir gue? Makanya muka dirawat dong. jerawat dipelihara" kata terakhirnya cukup mendidihkan emosiku. 

 "Memangnya kamu sempurna ya ras?" kataku sambil menahan tangis yang sebenarnya memang belum selesai. 

"SETIDAKNYA GUE PUNYA PACAR" jawabnya bangga. 

Aku menunduk..., sedikit ingin tertawa 

 * 
@Larashita : Pathetic amat sih hidup lo! Mending gue pacaran sama @RomeoSudirdjo deh, kamu dmn sih sayang? Bbm aku ga di bales-bales :( 

 Itu up date-an terbaru dari jejaring sosial milik wanita yang satu jam lalu membuatku ingin membenamkan wajahnya di toilet. Sejak aku tau wanita yang menghancurkan hidupku itu tergila-gila dengan situs jejaring sosial, segera aku membuat dua account. 


Satu atas namaku @chevana dan yang satu lagi alter ego-ku @RomeoSudirjo. 
Tanpa perlu usaha maksimal, @Larashita pun tunduk menjadi budak cinta Romeo tanpa harus bertemu di dunia nyata. Dan sudah satu bulan ini entah kenapa wanita itu tampak semakin tergila-gila pada sosok Romeo. 

Mmmmmm.... ya ya ya ya.... Lagi-lagi ponselku bergetar : 

"PING" 


"PING" 


"PING" 


"Sayaaaaaaaaaaannngggg, aku udah pulang kawinaaann. Beteeee, pengen chatting sayang-sayangan sama kamu." 


"Sayaaaaaaaanngg"


"PING" 


"PING" 


"Kamu lagi apa sih yang" 


"PING" 


"PING" 


Kira-kira itulah isi pesan melalui blackberry messenger yang lebih terasa sebagai "teror".


Aku bosan menjadi Romeo, lebih baik jadi diri sendiri :) 


"Maaf ya, aku ga ngerasa cocok sama kamu. Aku ga bisa pacaran jarak jauh. Sorry ya, bye!" 


kira-kira itu pesan terakhir dari Romeo untuknya. Sebelum account itu aku hapus untuk selamanya. 




 ************ 





 -Woel-

Senin, Februari 24, 2014

Tentang pendakian kemarin di Semeru.



Jika di tanya : "Untuk apa mendaki gunung?" Mendaki gunung itu, bukan buat keren-kerenan atau jago-jago'an, tidak ada piala yang diperebutin kalau keindahan yang dicari, apalagi surga tersembunyi, tanyakan saja pada Semeru saat ini Jika ketenangan yang dicari, tanyakan pada "kampung pendaki" di Ranu kumbolo Pendakian, buatku, adalah untuk menemukan nurani kembali, berbicara pada hati.
  
Setiap langkah dalam pendakian, selalu diiringi campur aduknya alam pikiran, beberapa keputusan hidup kadang dibuat disitu. Semua pasti berubah, keindahan dan ketenangan yang kita dapatkan di gunung pasti berubah pula Orang lain sering bertanya juga, 
"apa yg kau cari di gunung , Woel?" 

Di jawab singkat.
 "hati." 

Ketika kita naik gunung, kita bisa menemukan siapa kawan yang sebenarnya, kita bisa menemukan hati dan nurani kita kembali Setiap alasan yang dibuat untuk mendaki, akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Buat orang yang hidupnya sudah punya kemajuan, karena sudah punya rumah, punya mobil, punya jabatan, punya segala tetek bengeknya sampe perutnya pun maju.

Selamat kawan! 

Jujur tidak sedikit pun rasa iri itu ada. Kamu salah kalo menilai kegiatan naik gunung itu ga ada kemajuan. Kalo ga maju-maju, gimana cara sampai puncak gunungnya? :p

Tapi salah kalo naik gunung yang ingin digapai hanya puncaknya saja. berarti kamu belum menemukan apa hakikat dari naik gunung itu sendiri. Saya dapat pelajaran banyak kemarin di Semeru, ini kedua kalinya saya ke Semeru. 

Dari perjalanan saya menuju summits yang dikalahkan oleh mental yang melempem ketika diterpa badai. Bisa saja mengabaikan keselamatan dan nyawa untuk mencapai puncak. Tapi banyak orang bilang puncak gunung tak akan lari di kejar. Maka dengan perasaan campur aduk, jejak kaki menuruni pasir yang menyelimuti hati dengan badai. Menangis sejadi-jadinya saat itu. Puncak gunung yang sesungguhnya saya dapat kan justru di Ranu kumbolo ketinggian 2400 mdpl. 

Pelajaran menolong sesama pendaki di Ranu kumbolo, entah siapa pun korbannya baik cewek atau cowok wajib kita tolong ketika mereka membutuhkan. Pelajaran memungut sampah di sepanjang jalur pendakian, pelajaran menanam bibit pohon cemara di area Ranu kumbolo untuk anak cucu kita nantinya. Hutan adalah masa depan kita. Mendadak jadi volunteer,mendadak di bilang dokter, di bilang ibu perawat.Semata dilakukan untuk membantu sesama yang terkena mountain sickness. 

Dua malam tertahan di Ranu kumbolo karena cuaca buruk tapi jadi bermanfaat membantu mereka yang butuh pertolongan. Dan betapa Pentingnya berbagi dengan sesama. Naik gunung mengajari kita untuk iklas, terkena angin gunung yang sangat dingin, makan seadanya,tidur seadanya. 

Kita belajar hidup seadanya. Intinya naik gunung bukan sekedar jalan-jalan ,rekreasi, mengejar ambisi puncak tapi lebih dari itu yang terpenting adalah proses pendakian itu tersendiri. proses instropeksi diri, bersyukur, menikmati sebuah arti kebersamaan diantara cangkir-cangkir teh yang mulai dingin… 

Diantara kabut-kabut tipis… 

Tenda yang didekap hujan, raga yang di dekap sleepingbag, hati yang di dekap komitmen. Mari mendaki gunung untuk menjaga alam. Biarlah orang lain menganggap hidup sayah dan teman-teman yang suka jalan ke gunung "ga maju-maju" mungkin dia belum mengenal Kang Tarpin yang mendaki gunung sambil jalan mundur :p 

Yang jelas buat saya : "Pekerjaan jangan sampai mengganggu hobby." 


Di tulis Minggu kemarin setelah jalan kaki di padatnya ibukota, sampai kampung kemudian merindu akan ketinggian diatas kabut... 


 RmH keONg http://Takamiyatwul.blogspot.com 

 -Woel-

-Kabar mu dari Kelud-

-Kabar mu dari Kelud- 

 February 22, 2014 14 febuari 2014 
 Jakarta.. 22 : 56 

 Saya kabari kamu : "Gunung mu sudah Mbledoos!" Padahal kamu yang berada paling dekat dengan Kelud, sehari sebelumnya kamu bilang pada saya : "Aku juga nunggu Kelud." 

 Sesudah Kelud bikin kalud dengan empat kali letusan yang kedua yang terdasyat, semalaman saya dan kamu memiliki hati yang sama, merasakan yang sama, Susah tidur karena memikirkan hal yang sama yaitu Kelud. 
 Pikiran kita sudah sama-sama berada di pengusian, lansia, anak-anak di sekitaran Kelud. Tapi malam itu saya sama kamu cuma bisa berdoa, karena belum bisa datang ke lokasi bencana untuk bantu evakuasi atau apa pun. 

 "Mungkin senin atau selasa aku kesana." Kata mu. Tapi saya tidak bisa ke sana karena terikat oleh sistem, lalu saya bilang sama kamu : "bisakaah secepatnya kesana?." Karena rasanya hati ini terlalu gundah memikirkan Kelud. "Sangat ingin kesana." 

 Jam 3 pagi, abu vulkanik sudah sampai Surabaya. Sambil berharap semua bisa mereda dan ketika terbangun dari tidur sejenak tidak ada kabar duka dari kelud. 
 Jam 7 saya terbangun, Abu vulkanik menghujani Solo dan Jogja. Kata mu : "aku cuma tidur satu jam, ini di rumah pun hujan abu. " Saya semakin cemas plus rewel, mengingatkan ini itu. Masker pun menjadi barang langka. 
 Sedangkan hujan abu vulkanik belum juga berhenti. Pikiran semakin Kalud dan I don't know what to do?! 

 Diam-diam hati saya berharap pada mu, supaya kamu bisa segera berada di lokasi bencana, supaya melalui perantara raga mu kegundahan hati saya terobati karena ketidakmampuan saya untuk bisa berada disana dan ikut turut membantu korban bencana. Saya berusaha membantu dari jauh, tidak sebanyak apa yang kamu lakukan di sana. 
 Kepala mau pecah karena tidak mampu menahan gejolak hati yang selalu merasa apa yang saya lakukan tidak maksimal. Sampai ada yang berkali-kali mengingatkan : "Jadi, lakukan apa yang kita mampu. We can not play God and we can not play hero, just do what you can do best, the rest is up to God." 

 "Lakukan bagianmu saja, Woel. Kalau tidak ada mau bagaimana?" 


 Saya masih tetap bergerak untuk cari jalan supaya hati ini terobati. 

 Lalu kamu kasih kabar : " aku menuju lokasi bencana." Tiap harinya kabar mu lah yang mengobati hati. Hati yang terluka karena tidak bisa berbuat apa selain berdoa. 
 Biar pun kamu bilang : "aku sibuuuuukk." Saya tetap menunggu kabar mu dari lokasi bencana. 

*

Ini kabar mu dari Kelud. 

 Hari pertama 

"untuk para relawan gn.Kelud daerah Sata sampai pasar karang Waspada turunnya lahar dingin." 

"Banyak bendera partai disini bikin emosi aja" 

 Hari kedua 

 "Aku sibuuuuukkk." 
 "Masak ini,aku tidur aja 2 jam tok." 
 "Hemat batrai juga,soalnya belum ada listrik." 

 Hari ketiga 

 "Hemat baterai ini,power bank udah gak bisa.. Ini masih di lokasi tadi aku evakuasi orang jompo satu orang yang belum di evakuasi mulai meletus sampai sekarang." 

 Kata mu banyak perselisihan di lokasi bencana, semua mengatur berdasarkan pengalaman sebagai relawan. Nyaris melupakan tujuan ke lokasi bencana itu apa? Fokus membantu mereka yang terkena musibah itu yang terpenting. 
Ada banyak bendera partai berseliweran di lokasi bencana yang bikin muak, seolah kalimat tinggalkan bendera kalian untuk kemanusian hanyalah omong kosong. Tujuannya sama yaitu hanya menjalankan tugas kemanusian dengan penuh kesadaran. Urusan kemanusian adalah urusan hati. 
 Kalau tidak siap, jangan berangkat jadi Relawan di lokasi bencana. 

 Cerita mu tentang media pun sangat miris, media membuat berita soal Kelud sedramatis mungkin, bahkan cenderung seperti 'sinetron' kata mu. Tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Entah kepentingan media itu sendiri apa? Yang jelas itu membuat mu jengkel. Banyak titik bantuan yang tidak tersampaikan mengendap dan menumpuk di pos karena alasan birokrasi. 

 Sampai akhirnya kamu menemukan seorang nenek berusia 80 tahun ke atas, bersama seorang cucu berusia 10 tahun. Mereka berdua ditinggal ke pengungsian oleh keluarganya. 6 hari bertahan di rumah setelah letusan Kelud. Kamu mengevakuasi nenek itu dan membawanya ke Rumah sakit terdekat. Itu pun menimbulkan perguncingan antara relawan lain dengan mu. 

 Mendapatkan hal baru bahwa mencari rekan untuk berangkat menjadi relawan itu jauh lebih susah daripada melawan badai terburuk sekalipun. 


19 feb 14 

"Aku udah di rumah ini." 


Sekian kabar mu dari Kelud. 


Dari saya yang diam-diam hatinya ikut dengan mu berjuang demi kemanusian, semoga kamu mendapat pahala tak terbatas. 

Terima kasih sudah meredakan. 


 -Woel- 

 22 feb 14 

  RmH keOnG